Kamis, 18 April 2013

ZAID AL -KHAIR Rodhiallahu 'anhu




Manusia ibarat mineral (barang tambang). Mereka yang terbaik pada masa Jahiliyah, juga menjadi yang terbaik pada masa Islam.

Milikilah dua karakter yang keduanya telah dite­rapkan oleh seorang sahabat yang mulia pada masa Jahily, kemudian ditonjolkannya pada masa Islam. Sahabat tersebut pada masa Jahily dipanggil Zaid Al­-Khail (pemilik kuda) yang kemudian menjadi Zaid Al-Khair (pemilik kebaikan), nama yang diberikan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam kepadanya setelah dia masuk Islam.

Karakter yang pertama Zaid ialah seperti dice­ritakan dalam buku-buku Sastra. Imam Syaibani men­ceritakan dari seorang tua Bani 'Amir, katanya, "Pada suatu ketika kami dapat musibah mengalami musim kemarau sehingga tanaman dan ternak kami binasa. Seorang laki-laki di antara kami pergi dengan keluarga­nya ke Hirah1 lalu ditinggalkannya keluarganya di sana. Katanya, "Tunggu aku di sini sampai aku kembali!"
Kemudian dia bersumpah tidak akan kembali kepada mereka, kecuali setelah berhasil memperoleh harta untuk mereka, atau dia mati. Maka disiapkannya perbekalan, lalu dia berjalan sepanjang hari. Ketika hari sudah malam dia sampai ke sebuah kemah, di dekat kemah itu terdapat seekor anak kuda. Katanya, "lnilah rampasanku yang pertama." Lalu dihampirinya anak kuda itu dan dilepaskannya ikatannya. Ketika dia hen­dak mengendarainya, tiba-tiba terdengar olehnya suatu suara memanggil, "lepaskan anak kuda itu, dan pergilah kamu!" Maka ditinggalkannya kuda itu kemudian dia pergi meninggalkan tempat itu.

Tujuh hari tujuh malam lamanya dia berjalan. Akhirnya dia sampai ke sebuah tempat peristirahatan unta. Tidak jauh dari situ terdapat sebuah kemah besar bertenda kulit, menunjukkan kekayaan dan kemewahan pemiliknya.

Laki-laki (Musafir) itu berkata kepada dirinya sen­diri, "Di sini tentu ada unta, dan di dalam kemah itu tentu ada penghuninya."
Ketika itu hampir Maghrib. Dia masuk ke dalam kemah, dan didapatinya seorang tua yang sudah udzur (jompo). Lalu dia duduk di dekat orang tua itu dengan sembunyi-sembunyi.

Tidak berapa lama kemudian hari pun mulai gelap. Seorang penunggang kuda (Al-Faris) bertubuh tinggi besar datang ke kemah. Dua orang hamba sahaya mengikuti dari belakang di sebelah kiri dan kanan dengan berjalan kaki. Mereka menggiring kira-kira seratus ekor unta yang didahului oleh seekor unta jantan yang besar. Bila unta jantan berlutut di tempat peristirahatan, ber­lutut pula seluruh unta betina.

Sambil menunjuk seekor unta betina yang gemuk, Al-Faris berkata kepada sahayanya, "Perah susu unta ini, kemudian suguhkan kepada Syekh (bapak)!".

Sahayanya itu segera memerah susu unta tersebut semangkuk penuh, lalu dihidangkan kepada Syekh. Sesudah itu ia pergi. Orang tua itu meneguk susu ter­sebut seteguk dua teguk, sesudah itu diletakkannya kembali.

Kata si Musafir, "Saya merangkak perlahan-lahan mendekati Syekh. Saya ambil bejana di hadapannya, lalu saya habiskan semua isinya."

Al-Faris (si penunggang kuda) gembira seraya berkata kepada sahayanya, "Perah lagi susu unta ini!" sambil menunjuk seekor unta yang lain. Sahaya itu segera melaksanakan perintah majikannya dan meng­hidangkan lagi semangkuk susu kepada Syekh. Syekh meminum susu seteguk lalu diletakkannya. Kemudian mangkuk itu susu itu diambil oleh si Musafir dan diminumnya setengah. Katanya, "Saya enggan mengha­biskannya, karena saya kuatir si Penunggang Kuda menaruh curiga." Kemudian Al-Faris memerintahkan sahaya yang lain menyembelih domba. Al-Faris memasak domba itu, kemudian memberi makan Syekh de­ngan tangannya sendiri sampai dia kenyang, barulah Al-Faris makan bersama-sama dengan kedua hamba sahayanya. Tidak lama kemudian, mereka semua pergi tidur.

Ketika mereka nyenyak tidur, aku pergi ke tempat unta jantan. Lalu kulepas ikatannya, aku kendarai lalu pergi. Unta-unta lainnya mengikuti unta jantan pergi dan aku terus pergi tengah malam itu. Setelah hari mulai siang, aku melihat sekeliling. Ternyata tidak ada tampak orang menyusulku. Aku terus berjalan sampai tengah hari. Pada suatu ketika aku menoleh ke belakang. Tiba-­tiba terlihat olehku di kejauhan suatu bayangan berge­rak cepat menuju ke arahku, bagaikan seeokor burung yang amat besar. Semakin lama, bayangan itu tambah dekat kepadaku dan tambah nyata. Akhirnya jelas bagiku, bayangan itu tak lain melainkan Al-Faris (si Penunggang Kuda) mencari untanya yang kubawa pergi. Aku segera turunkan menambatkan unta jantan. Kemu­dian kukeluarkan anak panah dari tabung dan kupasang pada busur. Aku berdiri dengan membelakangi unta-unta. Agak jauh di hadapanku berdiri AI-Faris. Dia berkata kepadaku, "Lepaskan unta jantan!"

Jawabku, "Tidak!" Keluargaku kutinggalkan di Hirah sedang kelaparan. Aku telah bersumpah tidak akan kembali kepada mereka sebelum berhasil membawa­kan mereka makanan atau aku mati karenanya."

Kata Al-Faris, "Jika kamu lepaskan, kubunuh kamu. Lepaskan! Terkutuklah kamu!"
Jawabku, "Tidak! Tidak akan kulepaskan walau apa yang akan terjadi!"
Kata Al-Faris, "Celakalah kamu! Kamu pencuri!" Katanya pula melanjutkan, "Rentangkan tali unta jantan itu. Di situ terdapat tiga buhul tunjukkan buhul mana yang harus kupanah!"

Saya tunjukkan kepadanya buhul yang di tengah. Dia membidik, lalu melepaskan anak panahnya tepat mengenai sasaran bagai ditancapkan layaknya dengan tangan. Kemudian dipanahnya pula buhul ke dua dan ketiga tanpa meleset sedikit pun. Melihat kenyataan itu, anak panahku kumasukkan kembali ke dalam tabung. Aku berdiri dan menyerah. Dia datang meng­hampiriku, lalu diambilnya pedang dan panahku. Kata­nya memerintahku, "Bonceng di belakangku!"

Aku naik membonceng di belakangnya. Dia ber­tanya, "Hukuman apa menurutmu yang akan kujatuh­kan terhadap dirimu?"
Jawabku, "Tentu hukuman berat !" Dia bertanya pula, "Mengapa !"
Jawabku, "Karena perbuatanku yang tidak terpuji dan menyusahkan engkau. Allah memenangkan engkau dan mengalahkanku !"
Katanya, "Mengapa kamu menyangka begitu? Bukankah kamu telah menemani "Muhalhil" (bapakku) makan, minum dan tidur semalam dengannya?"
Mendengar dia berkata "Muhalhil", aku bertanya
kepadanya, "Apakah engkau ini "Zaid Al-Khail?"
Jawabnya, "Ya!"
Kataku, "Engkau penawan yang baik."
Jawabnya, "Jangan kuatir"

Dia membawaku kembali ke perkemahannya. Ka­tanya, "Demi Allah! Seandainya unta-unta ini milikku sendiri, sungguh kuberikan semuanya kepadamu. Tetapi sayang, unta ini milik saudara perempuanku. Tinggallah di sini barang dua tiga hari. Tidak lama lagi akan terjadi peperangan, dimana aku akan menang dan memperoleh rampasan."

Hari ketiga dia menyerang Bani Numair. Dia me­nang dan memperoleh rampasan hampir seratus ekor unta. Unta rampasan itu diberikannya semua kepadaku. Kemudian ditugaskannya dua orang pengawal untuk mengawal unta-unta itu selama dalam perjalanan sampai ke Hirah. Itulah karakter Zaid Al-Khail pada masa Jahily. Adapun bentuk kehidupannya dalam Islam, banyak ditulis orang dalam buku-buku sejarah.

Ketika berita mengenai munculnya Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam dengan da'wah yang dida'wahkannya. Kemudian diajaknya para pemimpin terkemuka dari kaumnya berkunjung ke Yatsrib (Madinah) menemui Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam. Satu delegasi besar yang terdiri dari para pemimpin kaum Thayi pergi bersama-sama dengannya menemui Nabi yang mulia, antara lain terdapat Zur bin Sadus, Malik bin Jubair, 'Amir bin Juwain dan lain-lain. Setibanya di Madinah, mereka terus menuju ke Masjid Nabawi yang mulia dan memberhentikan unta mereka di depan pintu masjid. Ketika mereka masuk ke masjid, kebetulan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam sedang berkhutbah di atas mimbar. Mereka tergugah mendengar ucapan-ucapan Rasulullah, dan kagum melihat kaum muslimin diam mendengarkannya dengan penuh perhatian.

Ketika Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam melihat mereka, beliau mengu­capkan pidatonya kepada kaum muslimin.

"Aku lebih baik bagi tuan-tuan sekalian daripada berhala 'Uzza dan sekalian berhala yang tuan-tuan sembah. Aku lebih baik bagi tuan-tuan dari pada unta hitam dan daripada segala yang tuan-tuan sembah selain Allah. "

Ucapan-ucapan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam dalam pidatonya itu, sangat berkesan. dalam hati Zaid Al-Khail. Orang-o­rang serombongannya terbagi dua. Sebagian mene­rima panggilan yang hak, dan sebagian lagi menolak dengan sombong. Sebagian mendambakan surga dan sebagian lagi pasrah ke neraka.

Melihat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam yang berpidato mempesona pendengarannya, dikelilingi orang-orang mu'min yang mencucurkan air mata kesedihan, timbul rasa benci dalam hati Zur bin Sadus yang penuh ketakutan. Dia berkata kepada kawan-kawannya, "Demi Allah! Orang pasti akan mengusai seluruh bangsa 'Arab. Demi Allah! Saya tidak akan membiarkan kuduk saya dikuasainya selama-lamanya. "

Kemudian dia pergi ke negeri Syam. Di sana dia mencukur rambutnya seperti pendeta, kemudian dia masuk agama Nasrani.

Zaid AI-Khail lain lagi. Ketika Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam selesai berpidato, ia berdiri di antara jama'ah kaum muslimin. Zaid seorang laki-laki ganteng, cakap dan berperawa­kan tinggi. Kalau menunggang kuda, kakinya tergontai hampir sampai ke tanah. Dia berdiri dengan tubuhnya yang tegap dan berbicara dengan suaranya yang lan­tang. Katanya, "Ya, Muhammad Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya engkau Rasulullah."

Rasulullah menoleh kepadanya seraya bertanya, "Siapa Anda?"
Jawab Zaid, "Saya Zaid Al-Khail bin Muhalhil."

Kata Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, "Tentunya Anda Zaid Al-Khair, bukan lagi Al-Khail. Segala puji bagi Allah yang mem­bawa Anda ke sini dari kampung Anda, dan melunak­kan hati Anda menerima Islam."

Sejak Zaid Al-Khail terkenal dengan nama Zaid Al-Khair. Kemudian Rasulullah membawanya ke rumah beliau, diikuti 'Umar bin Khatthab dan beberapa sa­habat lain. Sesampainya di rumah Rasulullah, beliau melepaskan alas duduknya kepada Zaid. Tetapi Zaid Al-Khair segan menerimanya dan mengembalikannya kepada beliau. Rasulullah melemparkannya sampai tiga kali, tetapi Zaid Al-Khair segan menerimanya dan mengembalikannya sampai tiga kali, tetapi Zaid Al-Khair tetap menolak, karena merasa rikuh duduk di alas duduk Rasulullah yang mulia.

Setelah Zaid duduk dengan tenang di dalam majelis, Rasulullah berkata, "Belum pernah saya mengenal seseorang yang ciri-cirinya berlainan daripada yang disebutkan orang kepadaku melainkan kepada Anda seorang. Hai Zaid! Dalam diri Anda terdapat dua sifat yang disukai Allah dan Rasul-Nya.

Apa itu, ya Rasulullah? Tanya Zaid.

Jawab Rasulullah, "Segala puji bagi Allah yang telah menjadikanku memiliki sifat-sifat yang disukai Allah dan Rasul-Nya." Kemudian dia berkata lebih lanjut, "Berilah saya tiga ratus penunggang kuda yang cekatan. Saya berjanji kepada Anda akan menyerang negeri Rum dan mengambil negeri itu dari tangan mereka." Rasulullah mengagumi cita-cita Zaid itu. Kata beliau, "Alangkah besarnya cita-cita Anda, hai Zaid. Belum ada orang seperti Anda." Sebagian orang yang menemani Zaid masuk Islam bersamanya. Ketika Zaid dan orang-orang yang sepaham dengannya hedak kembali Ke Nejed, Rasulullah berkata, "Alangkah baiknya dia. Banyak keuntungan yang mungkin terjadi, seandainya dia selamat dari wabah yang berjangkit di Madinah." Justru Madinah Al-Munawarah sedang dilanda wabah demam panas. Pada suatu malam Zaid Al-Khair diserang penyakit tersebut. Zaid Al-Khair ber­kata kepada pengikutnya, "Singkirkan saya ke kampung Qais!, Sesungguhnya antara kita dengan mereka tidak ada permusuhan Jahiliyah. Tetapi demi Allah! Saya tidak ingin membunuh kaum muslimin sehingga mereka mati kena wabah penyakitku ini:" Zaid Al-Khair mene­ruskan perjalanan ke kampungnya di Nejed. Tetapi sa­yangnya demamnya makin menjadi-jadi.

Dia ingin menemui kaumnya di Nejed dan meng­harapkan agar mereka masuk Islam di tangannya. Dia telah bercita-cita yang baik. Tetapi suatu cobaan men­dahuluinya sebelum cita-citanya terlaksana. Tidak lama kemudian dia menghembuskan nafasnya yang terakhir di perjalanan. Sedikit sekali waktu terluang baginya sesudah dia masuk Islam, sehingga tidak ada peluang untuk berbuat dosa. Dia meninggal tidak lama sesudah dia menyatakan Islamnya di hadapan Rasu­lullah Shalallahu 'alaihi wasallam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar