Assalamu’alaikum saudara
seiman dimanapun berada. Alhamdulillah yang telah memberikanku banyak nikmat…
terlalu banyak nikmat sampai-sampai membuatku lalai bahwa hidup ini memiliki
tujuan, dimana aku menjadi tersibukkan dengan apa-apa yang tidak kumiliki,
mengeluhkan beragam permasalahan yang diujikan padaku sehingga melupakanku
untuk bersyukur. Karna itulah aku perlu membayar kesia-siaan hidupku dengan
menyisihkan sekelumit waktuku yang dipenuhi dengan hal-hal tidak berguna dengan
menulis blog ini yang semoga memberikan manfaat bagi Islam. Untuk hal ini aku
membutuhkan dukungan dari teman-teman untuk memberikan saran, kritik membangun
maupun revisi dalam penulisan blog ini. Sebuah blog yang berisi kisah dari
manusia-manusia terbaik sepanjang zaman, yang cahayanya tidak pernah padam
hingga bumi dihancurleburkan.
Aku akan memulainya dengan
kisah pemuda idolaku, seorang sahabat Nabi saw yang paling layak dijadikan
teladan bagi para pemuda Islam zaman ini yang mulai kehilangan sosok teladan.
Dialah Mush’ab bin Umair, Duta Islam yang Pertama. Dia mengabdikan hidupnya
untuk menjadi cahaya penerang zaman, menyebarkan Islam dengan keluwesan
bicaranya dan kepandaian diplomasinya. Dia jauh lebih layak dijadikan idola dan
sebutannya namanya lebih indah disebarkan dari mulut ke mulut daripada sosok
pemuda-pemuda zaman sekarang yang menyibukkan dirinya dengan menjadi manusia
penghibur, berjingkrak-jingkrak diatas panggung, membuat manusia lalai dari
tujuan hidup yang sesungguhnya.
Mush’ab bin Umair adalah
pemuda Makkah yang selalu jadi sanjungan semua orang, menjadi bahan pembicaraan
di kedai-kedai dan di pasar-pasar. Dari kalangan budak hingga kalangan tokoh
Makkah senantiasa membicarakannya, terutama gadis-gadis Makkah. Mush’ab hidup
serba berkecukupan dan terhormat dikalangan masyarakat Makkah. Dia adalah
pemuda yang dikaruniai Allah dengan wajah tampan dihiasi dengan akhlaknya yang
mulia. Mush’ab memiliki pribadi yang anggun, tutur kata lembut yang merembes
kedalam sanubari, pancaran mata yang teduh ditambah wawasan yang seluas
samudra. Kemampuannya berdiplomasi sanggup merubah orang yang mendebatnya
berpihak padanya.
Mush’ab pun selalu
menghiasi penampilan luarnya dengan kepandaiannya menata diri. Setiap orang
selalu melihatnya memakai pakaian yang bersih, harum dan rapi yang membuat
orang-orang merasa nyaman berdekatan dengannya. Ketika berbaur, orang-orang
akan senang mengerumuninya, terpesona oleh kehalusan tutur katanya. Gadis-gadis
cantik Makkah tidak akan mudah menghilangkan bayangan wajah Mush’ab, membawa
bayangan Mush’ab dalam tidur mereka, membuat pipi mereka memerah dan hati
berbunga-bunga. Dengan popularitasnya yang sedemikian, ayahnya biasa
mengajaknya kepertemuan-pertemuan dan memamerkan putranya kepada setiap tokoh
Makkah dengan bangga.
Mush’ab adalah pemuda yang
sangat berbakti kepada orangtuanya, terutama ibundanya. Mush’ab sangat
mencintai ibunya dengan segenap hati, jikapun jiwa raganya dapat membuat hati
ibunya senang tentulah Mush’ab akan memberikannya tanpa berpikir dua kali, sebab
itulah ibunya juga sangat menyayanginya dengan sepenuh jiwa. Mush’ab menjadi
kesayangan orangtuanya, harta tak ternilai bagi orangtuanya sebab itulah
keduanya senantiasa memanjakannya, membelanjakan hartanya untuk Mush’ab,
memberikan segala kemewahan dan popularitas. Dengan kata lain, dunia telah
menjadi milik Mush’ab, segala keindahan hidup telah dia rasakan. Namun entah
mengapa hati Mush’ab merasakan gersang, hal itu membuat Mush’ab sering
menyendiri di kesunyian dan merenung. Dengan keluasan wawasannya, Mush’ab
sanggup menembus dinding-dinding cakrawala dan memahami hidup lebih cerdas
dibanding kebanyakan manusia. Tentu saja, meskipun segala keindahan duniawi
dikumpulkan untuk Mush’ab maka itu belum cukup layak untuknya. Mush’ab terlalu
mulia dan terlalu terhormat.
l l l
Seringnya Mush’ab
menghadiri pertemuan-pertemuan, maka segala berita tentang kota Makkah tidak
ada yang terlewat darinya. Selain Mush’ab ternyata ada orang lain yang juga
menjadi bahan perbincangan setiap warga Makkah. Setiap pagi hingga petang, dari
sudut Pasar hingga rumah-rumah, namanya senantiasa disebutkan. Namanya menggema
diseluruh penjuru Makkah karna kemuliaan akhlaknya yang tidak tergambarkan oleh
kata dan tidak ada yang dapat mensejajarinya. Ketika nama orang itu terucap
dari bibir warga Makkah, Mush’ab akan memasang kedua telinganya dan
menghadirkan hatinya. Semua cerita tentangnya membuat Mush’ab begitu rindu
bertemu dengannya, mendengar namanya disebut membuat hati Mush’ab yang gersang
menjadi segar. Nama manusia mulia itu, yang senantiasa hadir dalam bayangan
Mush’ab tidak lain adalah putra Abdullah, cucu dari tokoh kaliber Makkah
bernama Abdul Muthollib, beliau adalah Muhammad bin Abdullah yang mendapat
gelar dari langit dengan sebutan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.
Para tokoh Makkah
senantiasa membicarakan kemuliaan akhlak Rosulullah saw, namun disisi lain juga
sangat membencinya. Hal itulah yang membuat Mush’ab begitu tertarik dengan
segala berita tentang Rosulullah saw. Kebencian masyarakat Makkah terhadap
Rosulullah saw lebih karna syariat yang dibawanya, berupa wahyu dari langit.
Masyarakat Makkah merasa berat meninggalkan budaya-budaya Jahiliyyah yang sudah
turun temurun diwariskan oleh nenek moyang. Karna itulah mereka berusaha memfitnah
Rosulullah saw, namun mereka kesulitan mencari hal-hal buruk tentang Rosulullah
saw, karna dilihat dari sisi manapun yang ada dalam diri Rosul saw hanyalah
kemuliaan. Beragam fitnah ngawur dilontarkan kepada beliau, dari julukan orang
gila, penyihir hingga penyair.
Namun, Mush’ab paham betul
siapa itu Rosulullah saw. Kejeliannya dalam menganalisa cerita dan ketajaman
pikirannya membuat dia mengenal Rosul saw sebagaimana adanya. Lambat laun
kekagumannya pada Rosul saw berubah menjadi rasa cinta yang teramat dalam,
melebihi cintanya pada segala sesuatu yang ada dimuka bumi, bahkan melebihi
cintanya pada Khunas binti Malik yang tak lain adalah Ibunda terkasihnya.
Mush’ab hadir dalam pertemuan orang-orang Quraisy untuk mengetahui berita
perihal Rosul saw. Diantara berita yang didengarnya adalah bahwa Rosul saw dan
para sahabatnya biasa berkumpul di bukit
Shafa, tepatnya di kediaman Arqam bin Abul Arqam untuk menghindari gangguan
orang-orang Quraisy.
l l l
Ketika mentari mulai
terbenam menyemburatkan warna jingga di ufuk langit, Mush’ab melangkahkan
kakinya ke Darul Arqam dengan langkah mantap dan hati yang menggebu. Disana
kerinduan Mush’ab terobati, kegersangan hatinya melepuh berganti kesejukan
tatkala didengarnya lantunan Qalamullah. Bacaan Al-Qur’an merembes ke
relung-relung hatinya, mengikis segala selubung keraguan dalam hatinya menjadi
bercahaya. Kemudian lantunan Syahadat keluar dari bibirnya. Maka Islamlah
Mush’ab.
Sungguh, tidak ada hal yang
ditakuti oleh Mush’ab seandainya seluruh penjuru Makkah mengetahui
keislamannya. Dia tidak akan bergeming sedikitpun dari keyakinannya meskipun
harus menanggung segala kesakitan. Namun, bayang-bayang Ibundanya tercinta
membuatnya takut untuk memperlihatkan keislamannya. Ibundanya yang selama ini
mengasihi dan menyayanginya menjadi penghalang terbesarnya. Ibundanya yang
selama ini sangat dicintainya akan berbalik menjadi musuhnya jika sampai tahu
bahwa Mush’ab telah masuk islam.
Namun kenyataan itu tidak
membuatnya takut mengambil resiko untuk mendatangi Darul Arqam. Mush’ab telah
memilih. Dan akhirnya keislamannya terkuak juga. Ketika Mush’ab mengendap-endap
untuk mendatangi Darul Arqam, Usman bin Thalhah melihatnya. Kemudian berita itu
sampai juga ke telinga Ibunya.
Mush’ab pun harus
menanggung segala konsekuensinya. Para pembesar Makkah, kerabatnya dan Ibunya
sendiri berdiri dihadapan Mush’ab. Tapi Mush’ab bukannya menundukkan kepala
karna malu, Mush’ab tahu bahwa dia berada dijalan yang benar karna itulah dia
tetap berdiri dengan kepercayaan diri terpancar diwajahnya. Mush’ab membacakan
ayat-ayat suci Al-Qur’an kepada mereka, mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan.
Namun hati mereka telah membeku. Keindahan Al-Qur’an tidak sanggup menggugah
hati mereka. Mush’ab tidak berhenti, dia tetap berusaha menyadarkan mereka
dengan keindahan Islam hingga akhirnya Ibunya maju menghampirinya dan hendak
membungkam perkataan Mush’ab dengan tamparan, namun tangan yang hendak
menamparnya itu jatuh terkulai, tidak sampai hati melukai putra tercintanya.
Ibunyapun mencari cara lain untuk mengembalikan keyakinan Mush’ab pada agama
nenek moyangnya. Ahirnya Mush’ab disekap di satu kamar dan dikunci rapat
sehingga tidak bisa menghadiri Darul Arqam.
Suatu ketika sampailah
kabar kepada Mush’ab bahwa beberapa sahabat Nabi saw berhijrah ke Habasyah.
Mendengar hal itu Mush’ab segera mengatur strategi agar bisa meloloskan diri.
Akhirnya Mush’ab berhasil meloloskan diri dan bergabung dengan beberapa sahabat
yang Hijrah ke Habasyah. Mush’ab tinggal di Habasyah bersama para sahabat yang
lain untuk kemudian pulang ke Makkah dan pergi berhijrah lagi ke Habasyah, maka
Mush’ab telah berhijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya.
l l l
Suatu hari, ketika
Rosulullah saw sedang memberikan wejangan kepada para sahabat yang duduk
mengelilingi beliau, Mush’ab pun menghampiri kumpulan itu. Para sahabat melihat
kepada Mush’ab yang turut gabung bersama mereka. Melihat penampilan Mush’ab
mereka menundukkan pandangan, bahkan beberapa dari mereka menangis. Dulu mereka
mengenal Mush’ab sebagai anak yang sangat dimanjakan dan hidup bergelimang
kemewahan. Memiliki kedudukan terhormat di kalangan Makkah dan senantiasa
tampil perlente dengan baju-baju yang indah, senantiasa rapi dan menyemarakkan
keharuman. Kini yang ada dihadapan mereka adalah Mush’ab yang memakai pakaian
usang yang bertambal-tambal dan kasar, sehari makan beberapa hari kemudian
harus rela menahan lapar.
Rosul saw memandangi
Mush’ab dengan tatapan penuh kasih dan bersabda, “dahulu, tiada yang menandingi
Mush’ab dalam mendapatkan kesenangan dari orangtuanya. Lalu semua itu dia
tinggalkan demi cintanya kepada Allah dan Rosul-Nya.”
Khunas binti Malik telah berputus
asa untuk mengembalikan Mush’ab ketika melihat keyakinannya yang kokoh.
Terakhir kali bertemu adalah sewaktu Mush’ab pulang dari Habasyah. Mush’ab
mendatangi ibunya setelah terlebih dulu menghadap pada Rosul saw. Tidaklah
Mush’ab berani mengambil resiko mendatangi ibunya melainkan karna baktinya pada sang Ibu. Khunas
pun mencoba untuk mengurung Mush’ab lagi, namun Mush’ab bersumpah untuk
membunuh orang-orang suruhan ibunya bila rencana itu dilakukan. Mengetahui
tekad putranya yang begitu kuat, Khunas membatalkan rencananya.
Sang ibupun dengan berat
hati mengusir putra kesayangannya, “pergilah sesuka hatimu. Aku bukanlah ibumu
lagi.” Mush’ab menghampiri ibunya dan berkata, “wahai Ibu, aku sangat sayang
kepada Ibu. Karna itu, bersaksilah tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad
adalah hamba dan utusan-Nya.”
Sang ibu menjawab dengan
marah, “demi bintang gemintang, aku tidak akan masuk ke dalam agama itu. Otakku
bisa rusak, dan buah pikiranku takkan diindahkan orang lain.” Perpisahan itu
menjadi perpisahan yang sangat mengharukan, dimana keyakinan keduanya begitu
kuat, ibunya pada kekafirannya dan Mush’ab kepada keimanannya. Keduanya
berpisah dengan cucuran air mata.
l l l
Orang-orang Madinah (saat
itu masih bernama Yastrib, pen) yang biasa menziarahi Baitullah mendengar
berita tentang Rosul saw dan ajaran agama yang bernama Islam. Mereka begitu
tertarik dengan Islam dan berbai’at kepada Rosul saw. Rosul saw pun memilih
diantara sekian banyak sahabatnya untuk menjadi duta Islam di Madinah, yang
mendapat amanah untuk menyebarkan Islam, mengajarkannya dan memahamkannya.
Tentunya itu adalah tugas yang sangat berat, karna menyangkut masa depan Islam,
duta Islam tersebut harus sanggup membimbing masyarakat Madinah untuk mengenal
Islam untuk kemudian menyiapkan Madinah sebagai tempat Hijrah. Tugas itu
diberikan kepada orang yang tepat, yaitu Mush’ab bin Umair. Rosul saw sangat
memahami betul karakteristik Mush’ab, kepandaiannya dalam berdiplomasi dan
keluasan ilmunya.
Orang-orang Madinah yang
berbai’at kepada Rosul saw kala itu berjumlah 12 orang. Selain bertugas
membimbing mereka kepada Islam, Mush’ab juga mendapat amanah untuk mengislamkan
Madinah secara besar-besaran. Dengan keluhuran akhlaknya, tutur katanya yang
indah, keluasan ilmunya dan kemampuannya dalam menghilangkan keraguan dengan
argumentasinya yang lugas. Maka hanya dalam beberapa bulan, penduduk Madinah
sudah berbondong-bondong masuk Islam. Pada musim haji berikutnya, kaum muslimin
Madinah mengirim rombongan untuk mewakili mereka menemui Rosul saw, rombongan
perwakilan itu berjumlah 70 orang yang dipimpin oleh guru mereka, Mush’ab bin
Umair.
Di Madinah, Mush’ab tinggal
sebagai tamu di rumah As’ad bin Zurarah. Dengan didampingi As’ad, ia
mendakwahkan islam kepada warga Madinah. Mush’ab menghampiri kabilah-kabilah,
rumah-rumah dan tempat-tempat pertemuan untuk menyuarakan ayat-ayat Allah.
Pernah pula dia menghadapi marabahaya yang mengancam jiwanya, namun dia dapat
mengatasinya.
Suatu hari, ketika Mush’ab
sedang berdakwah di tengah orang-orang suku Abdul Asyhal, datanglah pemimpin
suku mereka yang bernama Usaid bin Hudhair dengan kemarahan meluap-luap. Usaid
muncul dengan menghunus tombak bersiap menumpahkan darah. Sebagai pimpinan,
Usaid merasa bertanggung jawab terhadap sukunya. Usaid tidak ingin keyakinan
sukunya terhadap ajaran nenek moyang hilang. Melihat kegarangan Usaid,
orang-orang yang ada disitu ketakutan. Namun air muka Mush’ab tidak berubah,
tetap tenang dan menentramkan.
Dengan tombak yang sudah
siap dihujamkan, Usaid menghampiri Mush’ab dan As’ad. Dengan kasar dia berkata,
“apa maksud kalian datang ke kabilah kami ini? Apakah kalian hendak membodohi
rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tidak ingin nyawa kalian
melayang.”
Mush’ab tidak bergeming,
pandangan matanya tetaplah menyejukkan dan tutur sapanya tetaplah meneduhkan,
“mengapa Anda tidak duduk dan mendengarkan terlebih dahulu? Jika nanti Anda
tertarik, Anda dapat menerimanya. Dan jika nanti Anda tidak suka, kami akan
menghentikan apa yang Anda tidak sukai.”
Ketenangan Mush’ab dan
kemuliaan yang terpancar dari Mush’ab meluluhkan hati Usaid, “baiklah,” kata
Usaid. Diapun duduk dihadapan Mush’ab dan meletakkan tombaknya. Mush’ab pun
menjelaskan tentang Islam dan membacakan Al-Qur’an. Bergetar hati Usaid
mendengar keindahan ajaran Islam yang disampaikan oleh Mush’ab. Dengan bibir
bergetar Usaid berkata, “alangkah indahnya kata-kata ini. Tidak ada satu
kesalahanpun. Apa yang harus dilakukan orang yang mau masuk agama ini?”
Serentak gema tahlil keluar
dari bibir kaum muslimin, “la ilaha illallah, Muhammadurrosulullah.” Tahlil
terus bergema, seolah hendak menggoncangkan Madinah. Mush’ab berkata,
“hendaknya ia membersihkan pakaian dan badannya, lalu mengucapkan Asyhadu an la
ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah.”
Berita keislaman Usaid
menyebar begitu cepat di Madinah. Tokoh-tokoh Madinahpun mendatangi Mush’ab
untuk mendengar secara langsung ajaran agama yang bernama Islam. Sa’ad bin
Mu’adz pemimpin suku ‘Aus menyatakan keislamannya setelah mendengar penuturan
Mush’ab tentang Islam. Tidak lama kemudian Mush’ab berhasil pula mengislamkan
Sa’ad bin Ubadah. Dengan masuknya 3 tokoh kaliber tersebut maka pintu telah
terbuka lebar bagi Islam untuk masuk ke Madinah.
Penduduk Madinah berkata,
“jika Usaid bin Hudhair, Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah sudah masuk
Islam, apalagi yang kita tunggu? Mari kita menemui Mush’ab dan menyatakan
keislaman kita.” Komentar mereka tentang Mush’ab, “kebenaran terpancar dari
setiap kata-katanya.” Demikianlah Mush’ab bin Umair berhasil mendakwahkan Islam
ke seluruh Madinah, hingga Madinah pun siap menjadi tempat hijrah bagi Rosul
saw dan para sahabatnya.
l l l
Islam berkembang pesat di
Madinah. Di tempat itu Pemerintahan Islam dibangun dibawah kepemimpinan Rosul
saw. Hal itu membuat orang-orang Makkah geram dan peperangan tidak terelakkan
lagi. Orang-orang Quraisy menghimpun pasukan untuk merebut sumur Badar. Namun,
meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak namun umat Islam dapat mengalahkan
mereka dan menewaskan tokoh-tokoh kaliber Makkah seperti Uthbah, Abu Jahal dan
Umayyah. Kafir Quraisy pun berusaha membalas kekalahan mereka di Badar, dan
berkecamuklah perang Uhud.
Perang Uhud berlangsung.
Nabi saw menatap pasukannya untuk memastikan siapa yang layak memegang bendera
pasukan, kemudian Mush’ab terpilih untuk mengembannya. Di antara pasukan Islam
terdapat Abu Dujana, pemimpin suku Khazraj yang pemberani. Abu Dujana
mengikatkan syal merah dikepalanya sebagai tanda kesiapan perang sampai mati.
Abu Dujanapun maju menghampiri kafir Quraisy dengan mendongakkan kepala dan
membusungkan dadanya. Rosul saw mengomentari cara jalan Abu Dujana bahwa cara
jalan tersebut dibenci Allah karna memperlihatkan kecongkakan, kecuali dalam
perang. Melihat keberanian Abu Dujana, pasukan Quraisy mulai keder kehilangan
percaya diri. Melihat ketakutan di wajah pasukan Quraisy, Abu Dujana merangsek
masuk ke dalam barisan pasukan mereka dan membabat mereka satu demi satu, kaum
Muslimin melakukan hal yang sama. Peperangan pun berkecamuk hebat, Abu Dujana bahkan
telah menyisiri pasukan Quraisy hingga bagian belakang, disana berbaris kaum
wanita Quraisy yang menabuh genderang, memberi semangat pada pasukannya. Jika
saja Islam tidak melarang untuk membunuh wanita tentu saja Abu Dujana sudah
membabat habis mereka.
Islam berhasil mendesak
mundur pasukan Quraisy, namun pasukan pemanah yang menjaga bagian belakang
pasukan Islam berhamburan turun untuk mengambil rampasan perang karna mengira
kemenangan sudah didepan mata. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Khalid bin
Walid dengan membawa pasukannya mengitari gunung Uhud dan menyerang pasukan
Islam dari belakang. Melihat hal itu, pasukan Quraisy yang hendak mundur
kembali bersemangat dan kembali maju menyerang dengan beringas. Pasukan Islam
diserang dari depan dan belakang, tidak tahu lagi mana teman dan mana musuh,
hingga seorang pasukan muslim yang kalap menyerang anaknya sendiri tanpa
disadari. Para syuhada berguguran, dan pasukan Islam tercerai berai. Rosulullah
saw terjebak diantara pasukan Quraisy, beragam serangan ditujukan pada beliau.
Ali, Thalhah, Abu Dujana dan Mush’ab bin Umair tetap setia melindungi Rosul
saw. Rosul saw dijatuhkan dari kudanya dan terkena beragam senjata. Karna
sangat parahnya luka yang diderita oleh Rosul saw maka tersiarlah desas desus bahwa
Rosul saw telah wafat. Betapa sakit hati kaum muslim mendengarnya. Kaum muslim
pun berlarian mundur dari gelanggang peperangan dengan hati yang hancur. Ali
dan Thalhah merangsek pasukan musuh agar menjauh dari Rosul saw.
Abu Dujana dan Mush’ab
tetap berada di dekat Rosul saw dan menghalangi pasukan kafir untuk mendekat.
Pasukan pemanah mengarahkan panahnya kepada Rosul saw, melihat itu Abu Dujana
langsung berlari ke arah Rosul saw dan mendekap tubuh beliau. Abu Dujana
menjadi tameng bagi Rosul saw, darah segar mengalir dari tubuhnya, sakit yang
luar biasa dia tahan ketika panah demi panah terus melesat menghujam ke
tubuhnya hingga akhirnya Abu Dujana menemui syahid. Kini tinggallah Mush’ab bin
Umair seorang diri melindungi Rosul saw. Mush’ab mengacungkan bendera
setinggi-tingginya dengan harapan pasukan muslim menyadari bahwa Rosul saw
masih hidup. Mush’ab menggempur pasukan Quraisy yang mendekat dengan pedangnya,
mencoba mengalihkan serangan mereka dari Rosul saw.
Meskipun hanya seorang
diri, kekuatan Mush’ab seperti sepasukan tentara. Satu tangan memegang pedang
membabat pasukan, satu tangan memegang bendera agar terus berkibar. Tiba-tiba
Ibnu Qomiah, seorang pasukan berkuda berhasil membabat tangan kanan Mush’ab
hingga putus. Rasa sakit tidak tertahankan, tapi nyawa Rosul saw jauh lebih
berharga, Mush’ab pun mengambil bendera dengan tangan kirinya dan berkata,
“Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rosul, dan sebelumnya telah didahului
oleh para Rosul.” Dengan hanya menggunakan satu tangan yang memegang bendera,
Mush’ab tetap gigih melindungi Rosul saw. Namun tanpa memegang senjata, Mush’ab
menjadi mangsa yang empuk bagi Ibnu Qomiah. Kemudian Ibnu Qomiah berhasil
membabat tangan Mush’ab. Mush’ab tetap berdiri dengan berdarah-darah tanpa
peduli dengan rasa sakitnya, tanpa peduli dengan kedua tangannya yang buntung.
Dengan kedua pangkal
tangannya, didekapnya bendera pasukan agar terus berkibar sambil mengucapkan,
“Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rosul, dan sebelumnya telah didahului
oleh para Rosul.” Dengan sekuat tenaga Mush’ab berusaha mengalihkan serangan
Ibnu Qomiah dari Rosul saw, hingga akhirnya Ibnu Qomiah berhasil menghujamkan
tombaknya ke dada Mush’ab sehingga robohlah Mush’ab ketanah. Mush’ab menutup
kehidupannya yang dipenuhi kemuliaan dengan mendapatkan syahid. Meskipun
kematian Mush’ab membuat pasukan Quraisy lebih leluasa menyerang Rosul saw,
namun Allah tidak meninggalkan Rosul saw. Saat itu Nusaibah bin Ka’ab yang
bertugas mengobati pasukan muslim melihat bahwa Rosul saw masih hidup.
Menyadari bahwa Rosul saw hanya seorang diri, Nusaibah langsung melemparkan
kantung air ditangannya dan menghunus pedangnya. Dengan gagah berani Nusaibah
dan putranya melindungi Rosul saw hingga pasukan Muslim menyadari keberadaan
Rosul saw sehingga Rosul saw berhasil diselamatkan.
l l l
Setelah peperangan usai,
jasad Mush’ab bin Umair ditemukan dengan wajah menelungkup ke tanah digenangi
darahnya. Seolah-olah jasad yang telah kaku itu takut menyaksikan apabila
musibah menimpa Rosul saw sepeninggalnya, karna itu dia menyembunyikan wajahnya.
Khabbab bin Arat
menceritakan, “bersama Rosulullah kami hijrah di jalan Allah, untuk mengharap
ridlo-Nya. Pasti kita mendapat ganjaran disisi Allah. Di antara kami ada yang
lebih dulu meninggal dunia, dan belum menikmati pahalanya didunia ini sedikit pun.
Mush’ab bin Umair adalah salah satu dari mereka. Ia gugur di Perang Uhud. Tidak
ada yang bisa dipakai untuk mengkafaninya kecuali sehelai kain. Jika ditutupkan
mulai dari kakinya, kepalanya kelihatan. Maka, Rosulullah bersabda,
“tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan tutupilah kakinya dengan rumput idzkir”.”
Perang Uhud membawa duka
yang teramat dalam bagi Rosul saw, terlebih ketika melihat jasad Hamzah yang
dirusak oleh orang-orang musyrik, hingga bercucuranlah air mata beliau.
Meskipun dengan segala kesedihannya, Rosul saw menyempatkan untuk berhenti
sejenak dekat jasad Mush’ab bin Umair sambil membaca firman Allah,
“Di antara orang-orang
mukmin terdapat orang-orang yang telah menepati janji mereka kepada Allah.”
(QS. Al-Ahzah : 23)
Ada keprihatinan terpancar
di mata beliau ketika melihat kain kafan yang digunakan untuk Mush’ab. Beliau
bersabda, “ketika di Makkah dulu, tak seorangpun yang lebih halus pakaiannya
dan rapi rambutnya daripada kamu. Tetapi sekarang ini, rambutmu kusut, hanya
dibalut sehelai burdah.” Dengan kesayuan, Rosulullah saw melayangkan pandangan
ke semua sudut medan perang dan ke arah para syuhada dan bersabda, “Sungguh,
pada hari Kiamat kelak, di hadapan Allah, Rosulullah akan menjadi saksi bahwa
kalian adalah para syuhada.”
Setelah itu beliau
memandang para sahabat yang masih hidup, dan bersabda, “hai kalian semua,
kunjungilah mereka, dan ucapkanlah salam. Demi Zat yang jiwaku berada
ditangan-Nya, tak seorang muslimpun, sampai hari Kiamat kelak, yang mengucap
salam kepada mereka, kecuali mereka akan membalas salam itu.”
Salam bagimu wahai Mush’ab
bin Umair. Semoga Allah mengizinkanku untuk bersua denganmu di akhirat kelak
demi mengobati kerinduanku padamu.
Siapa Duta Islam ke Indonesia? Bisa kasi linknya kalau ada. Karena Rasul cinta bangsa Indonesia. Ini beritanya: Rasulullah Sayang Bangsa Indonesia
BalasHapus