Sabtu, 16 Maret 2013

Mush’ab Bin Umair





Assalamu’alaikum saudara seiman dimanapun berada. Alhamdulillah yang telah memberikanku banyak nikmat… terlalu banyak nikmat sampai-sampai membuatku lalai bahwa hidup ini memiliki tujuan, dimana aku menjadi tersibukkan dengan apa-apa yang tidak kumiliki, mengeluhkan beragam permasalahan yang diujikan padaku sehingga melupakanku untuk bersyukur. Karna itulah aku perlu membayar kesia-siaan hidupku dengan menyisihkan sekelumit waktuku yang dipenuhi dengan hal-hal tidak berguna dengan menulis blog ini yang semoga memberikan manfaat bagi Islam. Untuk hal ini aku membutuhkan dukungan dari teman-teman untuk memberikan saran, kritik membangun maupun revisi dalam penulisan blog ini. Sebuah blog yang berisi kisah dari manusia-manusia terbaik sepanjang zaman, yang cahayanya tidak pernah padam hingga bumi dihancurleburkan.

Aku akan memulainya dengan kisah pemuda idolaku, seorang sahabat Nabi saw yang paling layak dijadikan teladan bagi para pemuda Islam zaman ini yang mulai kehilangan sosok teladan. Dialah Mush’ab bin Umair, Duta Islam yang Pertama. Dia mengabdikan hidupnya untuk menjadi cahaya penerang zaman, menyebarkan Islam dengan keluwesan bicaranya dan kepandaian diplomasinya. Dia jauh lebih layak dijadikan idola dan sebutannya namanya lebih indah disebarkan dari mulut ke mulut daripada sosok pemuda-pemuda zaman sekarang yang menyibukkan dirinya dengan menjadi manusia penghibur, berjingkrak-jingkrak diatas panggung, membuat manusia lalai dari tujuan hidup yang sesungguhnya.

Mush’ab bin Umair adalah pemuda Makkah yang selalu jadi sanjungan semua orang, menjadi bahan pembicaraan di kedai-kedai dan di pasar-pasar. Dari kalangan budak hingga kalangan tokoh Makkah senantiasa membicarakannya, terutama gadis-gadis Makkah. Mush’ab hidup serba berkecukupan dan terhormat dikalangan masyarakat Makkah. Dia adalah pemuda yang dikaruniai Allah dengan wajah tampan dihiasi dengan akhlaknya yang mulia. Mush’ab memiliki pribadi yang anggun, tutur kata lembut yang merembes kedalam sanubari, pancaran mata yang teduh ditambah wawasan yang seluas samudra. Kemampuannya berdiplomasi sanggup merubah orang yang mendebatnya berpihak padanya.

Mush’ab pun selalu menghiasi penampilan luarnya dengan kepandaiannya menata diri. Setiap orang selalu melihatnya memakai pakaian yang bersih, harum dan rapi yang membuat orang-orang merasa nyaman berdekatan dengannya. Ketika berbaur, orang-orang akan senang mengerumuninya, terpesona oleh kehalusan tutur katanya. Gadis-gadis cantik Makkah tidak akan mudah menghilangkan bayangan wajah Mush’ab, membawa bayangan Mush’ab dalam tidur mereka, membuat pipi mereka memerah dan hati berbunga-bunga. Dengan popularitasnya yang sedemikian, ayahnya biasa mengajaknya kepertemuan-pertemuan dan memamerkan putranya kepada setiap tokoh Makkah dengan bangga.

Mush’ab adalah pemuda yang sangat berbakti kepada orangtuanya, terutama ibundanya. Mush’ab sangat mencintai ibunya dengan segenap hati, jikapun jiwa raganya dapat membuat hati ibunya senang tentulah Mush’ab akan memberikannya tanpa berpikir dua kali, sebab itulah ibunya juga sangat menyayanginya dengan sepenuh jiwa. Mush’ab menjadi kesayangan orangtuanya, harta tak ternilai bagi orangtuanya sebab itulah keduanya senantiasa memanjakannya, membelanjakan hartanya untuk Mush’ab, memberikan segala kemewahan dan popularitas. Dengan kata lain, dunia telah menjadi milik Mush’ab, segala keindahan hidup telah dia rasakan. Namun entah mengapa hati Mush’ab merasakan gersang, hal itu membuat Mush’ab sering menyendiri di kesunyian dan merenung. Dengan keluasan wawasannya, Mush’ab sanggup menembus dinding-dinding cakrawala dan memahami hidup lebih cerdas dibanding kebanyakan manusia. Tentu saja, meskipun segala keindahan duniawi dikumpulkan untuk Mush’ab maka itu belum cukup layak untuknya. Mush’ab terlalu mulia dan terlalu terhormat.

l l l


Seringnya Mush’ab menghadiri pertemuan-pertemuan, maka segala berita tentang kota Makkah tidak ada yang terlewat darinya. Selain Mush’ab ternyata ada orang lain yang juga menjadi bahan perbincangan setiap warga Makkah. Setiap pagi hingga petang, dari sudut Pasar hingga rumah-rumah, namanya senantiasa disebutkan. Namanya menggema diseluruh penjuru Makkah karna kemuliaan akhlaknya yang tidak tergambarkan oleh kata dan tidak ada yang dapat mensejajarinya. Ketika nama orang itu terucap dari bibir warga Makkah, Mush’ab akan memasang kedua telinganya dan menghadirkan hatinya. Semua cerita tentangnya membuat Mush’ab begitu rindu bertemu dengannya, mendengar namanya disebut membuat hati Mush’ab yang gersang menjadi segar. Nama manusia mulia itu, yang senantiasa hadir dalam bayangan Mush’ab tidak lain adalah putra Abdullah, cucu dari tokoh kaliber Makkah bernama Abdul Muthollib, beliau adalah Muhammad bin Abdullah yang mendapat gelar dari langit dengan sebutan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.

Para tokoh Makkah senantiasa membicarakan kemuliaan akhlak Rosulullah saw, namun disisi lain juga sangat membencinya. Hal itulah yang membuat Mush’ab begitu tertarik dengan segala berita tentang Rosulullah saw. Kebencian masyarakat Makkah terhadap Rosulullah saw lebih karna syariat yang dibawanya, berupa wahyu dari langit. Masyarakat Makkah merasa berat meninggalkan budaya-budaya Jahiliyyah yang sudah turun temurun diwariskan oleh nenek moyang. Karna itulah mereka berusaha memfitnah Rosulullah saw, namun mereka kesulitan mencari hal-hal buruk tentang Rosulullah saw, karna dilihat dari sisi manapun yang ada dalam diri Rosul saw hanyalah kemuliaan. Beragam fitnah ngawur dilontarkan kepada beliau, dari julukan orang gila, penyihir hingga penyair.

Namun, Mush’ab paham betul siapa itu Rosulullah saw. Kejeliannya dalam menganalisa cerita dan ketajaman pikirannya membuat dia mengenal Rosul saw sebagaimana adanya. Lambat laun kekagumannya pada Rosul saw berubah menjadi rasa cinta yang teramat dalam, melebihi cintanya pada segala sesuatu yang ada dimuka bumi, bahkan melebihi cintanya pada Khunas binti Malik yang tak lain adalah Ibunda terkasihnya. Mush’ab hadir dalam pertemuan orang-orang Quraisy untuk mengetahui berita perihal Rosul saw. Diantara berita yang didengarnya adalah bahwa Rosul saw dan para sahabatnya  biasa berkumpul di bukit Shafa, tepatnya di kediaman Arqam bin Abul Arqam untuk menghindari gangguan orang-orang Quraisy.

l l l

Ketika mentari mulai terbenam menyemburatkan warna jingga di ufuk langit, Mush’ab melangkahkan kakinya ke Darul Arqam dengan langkah mantap dan hati yang menggebu. Disana kerinduan Mush’ab terobati, kegersangan hatinya melepuh berganti kesejukan tatkala didengarnya lantunan Qalamullah. Bacaan Al-Qur’an merembes ke relung-relung hatinya, mengikis segala selubung keraguan dalam hatinya menjadi bercahaya. Kemudian lantunan Syahadat keluar dari bibirnya. Maka Islamlah Mush’ab.

Sungguh, tidak ada hal yang ditakuti oleh Mush’ab seandainya seluruh penjuru Makkah mengetahui keislamannya. Dia tidak akan bergeming sedikitpun dari keyakinannya meskipun harus menanggung segala kesakitan. Namun, bayang-bayang Ibundanya tercinta membuatnya takut untuk memperlihatkan keislamannya. Ibundanya yang selama ini mengasihi dan menyayanginya menjadi penghalang terbesarnya. Ibundanya yang selama ini sangat dicintainya akan berbalik menjadi musuhnya jika sampai tahu bahwa Mush’ab telah masuk islam.

Namun kenyataan itu tidak membuatnya takut mengambil resiko untuk mendatangi Darul Arqam. Mush’ab telah memilih. Dan akhirnya keislamannya terkuak juga. Ketika Mush’ab mengendap-endap untuk mendatangi Darul Arqam, Usman bin Thalhah melihatnya. Kemudian berita itu sampai juga ke telinga Ibunya.

Mush’ab pun harus menanggung segala konsekuensinya. Para pembesar Makkah, kerabatnya dan Ibunya sendiri berdiri dihadapan Mush’ab. Tapi Mush’ab bukannya menundukkan kepala karna malu, Mush’ab tahu bahwa dia berada dijalan yang benar karna itulah dia tetap berdiri dengan kepercayaan diri terpancar diwajahnya. Mush’ab membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an kepada mereka, mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan. Namun hati mereka telah membeku. Keindahan Al-Qur’an tidak sanggup menggugah hati mereka. Mush’ab tidak berhenti, dia tetap berusaha menyadarkan mereka dengan keindahan Islam hingga akhirnya Ibunya maju menghampirinya dan hendak membungkam perkataan Mush’ab dengan tamparan, namun tangan yang hendak menamparnya itu jatuh terkulai, tidak sampai hati melukai putra tercintanya. Ibunyapun mencari cara lain untuk mengembalikan keyakinan Mush’ab pada agama nenek moyangnya. Ahirnya Mush’ab disekap di satu kamar dan dikunci rapat sehingga tidak bisa menghadiri Darul Arqam.

Suatu ketika sampailah kabar kepada Mush’ab bahwa beberapa sahabat Nabi saw berhijrah ke Habasyah. Mendengar hal itu Mush’ab segera mengatur strategi agar bisa meloloskan diri. Akhirnya Mush’ab berhasil meloloskan diri dan bergabung dengan beberapa sahabat yang Hijrah ke Habasyah. Mush’ab tinggal di Habasyah bersama para sahabat yang lain untuk kemudian pulang ke Makkah dan pergi berhijrah lagi ke Habasyah, maka Mush’ab telah berhijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya.

l l l

Suatu hari, ketika Rosulullah saw sedang memberikan wejangan kepada para sahabat yang duduk mengelilingi beliau, Mush’ab pun menghampiri kumpulan itu. Para sahabat melihat kepada Mush’ab yang turut gabung bersama mereka. Melihat penampilan Mush’ab mereka menundukkan pandangan, bahkan beberapa dari mereka menangis. Dulu mereka mengenal Mush’ab sebagai anak yang sangat dimanjakan dan hidup bergelimang kemewahan. Memiliki kedudukan terhormat di kalangan Makkah dan senantiasa tampil perlente dengan baju-baju yang indah, senantiasa rapi dan menyemarakkan keharuman. Kini yang ada dihadapan mereka adalah Mush’ab yang memakai pakaian usang yang bertambal-tambal dan kasar, sehari makan beberapa hari kemudian harus rela menahan lapar.

Rosul saw memandangi Mush’ab dengan tatapan penuh kasih dan bersabda, “dahulu, tiada yang menandingi Mush’ab dalam mendapatkan kesenangan dari orangtuanya. Lalu semua itu dia tinggalkan demi cintanya kepada Allah dan Rosul-Nya.”

Khunas binti Malik telah berputus asa untuk mengembalikan Mush’ab ketika melihat keyakinannya yang kokoh. Terakhir kali bertemu adalah sewaktu Mush’ab pulang dari Habasyah. Mush’ab mendatangi ibunya setelah terlebih dulu menghadap pada Rosul saw. Tidaklah Mush’ab berani mengambil resiko mendatangi ibunya  melainkan karna baktinya pada sang Ibu. Khunas pun mencoba untuk mengurung Mush’ab lagi, namun Mush’ab bersumpah untuk membunuh orang-orang suruhan ibunya bila rencana itu dilakukan. Mengetahui tekad putranya yang begitu kuat, Khunas membatalkan rencananya.

Sang ibupun dengan berat hati mengusir putra kesayangannya, “pergilah sesuka hatimu. Aku bukanlah ibumu lagi.” Mush’ab menghampiri ibunya dan berkata, “wahai Ibu, aku sangat sayang kepada Ibu. Karna itu, bersaksilah tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Sang ibu menjawab dengan marah, “demi bintang gemintang, aku tidak akan masuk ke dalam agama itu. Otakku bisa rusak, dan buah pikiranku takkan diindahkan orang lain.” Perpisahan itu menjadi perpisahan yang sangat mengharukan, dimana keyakinan keduanya begitu kuat, ibunya pada kekafirannya dan Mush’ab kepada keimanannya. Keduanya berpisah dengan cucuran air mata.

l l l

Orang-orang Madinah (saat itu masih bernama Yastrib, pen) yang biasa menziarahi Baitullah mendengar berita tentang Rosul saw dan ajaran agama yang bernama Islam. Mereka begitu tertarik dengan Islam dan berbai’at kepada Rosul saw. Rosul saw pun memilih diantara sekian banyak sahabatnya untuk menjadi duta Islam di Madinah, yang mendapat amanah untuk menyebarkan Islam, mengajarkannya dan memahamkannya. Tentunya itu adalah tugas yang sangat berat, karna menyangkut masa depan Islam, duta Islam tersebut harus sanggup membimbing masyarakat Madinah untuk mengenal Islam untuk kemudian menyiapkan Madinah sebagai tempat Hijrah. Tugas itu diberikan kepada orang yang tepat, yaitu Mush’ab bin Umair. Rosul saw sangat memahami betul karakteristik Mush’ab, kepandaiannya dalam berdiplomasi dan keluasan ilmunya.

Orang-orang Madinah yang berbai’at kepada Rosul saw kala itu berjumlah 12 orang. Selain bertugas membimbing mereka kepada Islam, Mush’ab juga mendapat amanah untuk mengislamkan Madinah secara besar-besaran. Dengan keluhuran akhlaknya, tutur katanya yang indah, keluasan ilmunya dan kemampuannya dalam menghilangkan keraguan dengan argumentasinya yang lugas. Maka hanya dalam beberapa bulan, penduduk Madinah sudah berbondong-bondong masuk Islam. Pada musim haji berikutnya, kaum muslimin Madinah mengirim rombongan untuk mewakili mereka menemui Rosul saw, rombongan perwakilan itu berjumlah 70 orang yang dipimpin oleh guru mereka, Mush’ab bin Umair.

Di Madinah, Mush’ab tinggal sebagai tamu di rumah As’ad bin Zurarah. Dengan didampingi As’ad, ia mendakwahkan islam kepada warga Madinah. Mush’ab menghampiri kabilah-kabilah, rumah-rumah dan tempat-tempat pertemuan untuk menyuarakan ayat-ayat Allah. Pernah pula dia menghadapi marabahaya yang mengancam jiwanya, namun dia dapat mengatasinya.

Suatu hari, ketika Mush’ab sedang berdakwah di tengah orang-orang suku Abdul Asyhal, datanglah pemimpin suku mereka yang bernama Usaid bin Hudhair dengan kemarahan meluap-luap. Usaid muncul dengan menghunus tombak bersiap menumpahkan darah. Sebagai pimpinan, Usaid merasa bertanggung jawab terhadap sukunya. Usaid tidak ingin keyakinan sukunya terhadap ajaran nenek moyang hilang. Melihat kegarangan Usaid, orang-orang yang ada disitu ketakutan. Namun air muka Mush’ab tidak berubah, tetap tenang dan menentramkan.

Dengan tombak yang sudah siap dihujamkan, Usaid menghampiri Mush’ab dan As’ad. Dengan kasar dia berkata, “apa maksud kalian datang ke kabilah kami ini? Apakah kalian hendak membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tidak ingin nyawa kalian melayang.”

Mush’ab tidak bergeming, pandangan matanya tetaplah menyejukkan dan tutur sapanya tetaplah meneduhkan, “mengapa Anda tidak duduk dan mendengarkan terlebih dahulu? Jika nanti Anda tertarik, Anda dapat menerimanya. Dan jika nanti Anda tidak suka, kami akan menghentikan apa yang Anda tidak sukai.”

Ketenangan Mush’ab dan kemuliaan yang terpancar dari Mush’ab meluluhkan hati Usaid, “baiklah,” kata Usaid. Diapun duduk dihadapan Mush’ab dan meletakkan tombaknya. Mush’ab pun menjelaskan tentang Islam dan membacakan Al-Qur’an. Bergetar hati Usaid mendengar keindahan ajaran Islam yang disampaikan oleh Mush’ab. Dengan bibir bergetar Usaid berkata, “alangkah indahnya kata-kata ini. Tidak ada satu kesalahanpun. Apa yang harus dilakukan orang yang mau masuk agama ini?”

Serentak gema tahlil keluar dari bibir kaum muslimin, “la ilaha illallah, Muhammadurrosulullah.” Tahlil terus bergema, seolah hendak menggoncangkan Madinah. Mush’ab berkata, “hendaknya ia membersihkan pakaian dan badannya, lalu mengucapkan Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah.”

Berita keislaman Usaid menyebar begitu cepat di Madinah. Tokoh-tokoh Madinahpun mendatangi Mush’ab untuk mendengar secara langsung ajaran agama yang bernama Islam. Sa’ad bin Mu’adz pemimpin suku ‘Aus menyatakan keislamannya setelah mendengar penuturan Mush’ab tentang Islam. Tidak lama kemudian Mush’ab berhasil pula mengislamkan Sa’ad bin Ubadah. Dengan masuknya 3 tokoh kaliber tersebut maka pintu telah terbuka lebar bagi Islam untuk masuk ke Madinah.

Penduduk Madinah berkata, “jika Usaid bin Hudhair, Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah sudah masuk Islam, apalagi yang kita tunggu? Mari kita menemui Mush’ab dan menyatakan keislaman kita.” Komentar mereka tentang Mush’ab, “kebenaran terpancar dari setiap kata-katanya.” Demikianlah Mush’ab bin Umair berhasil mendakwahkan Islam ke seluruh Madinah, hingga Madinah pun siap menjadi tempat hijrah bagi Rosul saw dan para sahabatnya.

l l l

Islam berkembang pesat di Madinah. Di tempat itu Pemerintahan Islam dibangun dibawah kepemimpinan Rosul saw. Hal itu membuat orang-orang Makkah geram dan peperangan tidak terelakkan lagi. Orang-orang Quraisy menghimpun pasukan untuk merebut sumur Badar. Namun, meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak namun umat Islam dapat mengalahkan mereka dan menewaskan tokoh-tokoh kaliber Makkah seperti Uthbah, Abu Jahal dan Umayyah. Kafir Quraisy pun berusaha membalas kekalahan mereka di Badar, dan berkecamuklah perang Uhud.

Perang Uhud berlangsung. Nabi saw menatap pasukannya untuk memastikan siapa yang layak memegang bendera pasukan, kemudian Mush’ab terpilih untuk mengembannya. Di antara pasukan Islam terdapat Abu Dujana, pemimpin suku Khazraj yang pemberani. Abu Dujana mengikatkan syal merah dikepalanya sebagai tanda kesiapan perang sampai mati. Abu Dujanapun maju menghampiri kafir Quraisy dengan mendongakkan kepala dan membusungkan dadanya. Rosul saw mengomentari cara jalan Abu Dujana bahwa cara jalan tersebut dibenci Allah karna memperlihatkan kecongkakan, kecuali dalam perang. Melihat keberanian Abu Dujana, pasukan Quraisy mulai keder kehilangan percaya diri. Melihat ketakutan di wajah pasukan Quraisy, Abu Dujana merangsek masuk ke dalam barisan pasukan mereka dan membabat mereka satu demi satu, kaum Muslimin melakukan hal yang sama. Peperangan pun berkecamuk hebat, Abu Dujana bahkan telah menyisiri pasukan Quraisy hingga bagian belakang, disana berbaris kaum wanita Quraisy yang menabuh genderang, memberi semangat pada pasukannya. Jika saja Islam tidak melarang untuk membunuh wanita tentu saja Abu Dujana sudah membabat habis mereka.

Islam berhasil mendesak mundur pasukan Quraisy, namun pasukan pemanah yang menjaga bagian belakang pasukan Islam berhamburan turun untuk mengambil rampasan perang karna mengira kemenangan sudah didepan mata. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Khalid bin Walid dengan membawa pasukannya mengitari gunung Uhud dan menyerang pasukan Islam dari belakang. Melihat hal itu, pasukan Quraisy yang hendak mundur kembali bersemangat dan kembali maju menyerang dengan beringas. Pasukan Islam diserang dari depan dan belakang, tidak tahu lagi mana teman dan mana musuh, hingga seorang pasukan muslim yang kalap menyerang anaknya sendiri tanpa disadari. Para syuhada berguguran, dan pasukan Islam tercerai berai. Rosulullah saw terjebak diantara pasukan Quraisy, beragam serangan ditujukan pada beliau. Ali, Thalhah, Abu Dujana dan Mush’ab bin Umair tetap setia melindungi Rosul saw. Rosul saw dijatuhkan dari kudanya dan terkena beragam senjata. Karna sangat parahnya luka yang diderita oleh Rosul saw maka tersiarlah desas desus bahwa Rosul saw telah wafat. Betapa sakit hati kaum muslim mendengarnya. Kaum muslim pun berlarian mundur dari gelanggang peperangan dengan hati yang hancur. Ali dan Thalhah merangsek pasukan musuh agar menjauh dari Rosul saw.

Abu Dujana dan Mush’ab tetap berada di dekat Rosul saw dan menghalangi pasukan kafir untuk mendekat. Pasukan pemanah mengarahkan panahnya kepada Rosul saw, melihat itu Abu Dujana langsung berlari ke arah Rosul saw dan mendekap tubuh beliau. Abu Dujana menjadi tameng bagi Rosul saw, darah segar mengalir dari tubuhnya, sakit yang luar biasa dia tahan ketika panah demi panah terus melesat menghujam ke tubuhnya hingga akhirnya Abu Dujana menemui syahid. Kini tinggallah Mush’ab bin Umair seorang diri melindungi Rosul saw. Mush’ab mengacungkan bendera setinggi-tingginya dengan harapan pasukan muslim menyadari bahwa Rosul saw masih hidup. Mush’ab menggempur pasukan Quraisy yang mendekat dengan pedangnya, mencoba mengalihkan serangan mereka dari Rosul saw.

Meskipun hanya seorang diri, kekuatan Mush’ab seperti sepasukan tentara. Satu tangan memegang pedang membabat pasukan, satu tangan memegang bendera agar terus berkibar. Tiba-tiba Ibnu Qomiah, seorang pasukan berkuda berhasil membabat tangan kanan Mush’ab hingga putus. Rasa sakit tidak tertahankan, tapi nyawa Rosul saw jauh lebih berharga, Mush’ab pun mengambil bendera dengan tangan kirinya dan berkata, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rosul, dan sebelumnya telah didahului oleh para Rosul.” Dengan hanya menggunakan satu tangan yang memegang bendera, Mush’ab tetap gigih melindungi Rosul saw. Namun tanpa memegang senjata, Mush’ab menjadi mangsa yang empuk bagi Ibnu Qomiah. Kemudian Ibnu Qomiah berhasil membabat tangan Mush’ab. Mush’ab tetap berdiri dengan berdarah-darah tanpa peduli dengan rasa sakitnya, tanpa peduli dengan kedua tangannya yang buntung.

Dengan kedua pangkal tangannya, didekapnya bendera pasukan agar terus berkibar sambil mengucapkan, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rosul, dan sebelumnya telah didahului oleh para Rosul.” Dengan sekuat tenaga Mush’ab berusaha mengalihkan serangan Ibnu Qomiah dari Rosul saw, hingga akhirnya Ibnu Qomiah berhasil menghujamkan tombaknya ke dada Mush’ab sehingga robohlah Mush’ab ketanah. Mush’ab menutup kehidupannya yang dipenuhi kemuliaan dengan mendapatkan syahid. Meskipun kematian Mush’ab membuat pasukan Quraisy lebih leluasa menyerang Rosul saw, namun Allah tidak meninggalkan Rosul saw. Saat itu Nusaibah bin Ka’ab yang bertugas mengobati pasukan muslim melihat bahwa Rosul saw masih hidup. Menyadari bahwa Rosul saw hanya seorang diri, Nusaibah langsung melemparkan kantung air ditangannya dan menghunus pedangnya. Dengan gagah berani Nusaibah dan putranya melindungi Rosul saw hingga pasukan Muslim menyadari keberadaan Rosul saw sehingga Rosul saw berhasil diselamatkan.

l l l

Setelah peperangan usai, jasad Mush’ab bin Umair ditemukan dengan wajah menelungkup ke tanah digenangi darahnya. Seolah-olah jasad yang telah kaku itu takut menyaksikan apabila musibah menimpa Rosul saw sepeninggalnya, karna itu dia menyembunyikan wajahnya.

Khabbab bin Arat menceritakan, “bersama Rosulullah kami hijrah di jalan Allah, untuk mengharap ridlo-Nya. Pasti kita mendapat ganjaran disisi Allah. Di antara kami ada yang lebih dulu meninggal dunia, dan belum menikmati pahalanya didunia ini sedikit pun. Mush’ab bin Umair adalah salah satu dari mereka. Ia gugur di Perang Uhud. Tidak ada yang bisa dipakai untuk mengkafaninya kecuali sehelai kain. Jika ditutupkan mulai dari kakinya, kepalanya kelihatan. Maka, Rosulullah bersabda, “tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan tutupilah kakinya dengan rumput idzkir”.”

Perang Uhud membawa duka yang teramat dalam bagi Rosul saw, terlebih ketika melihat jasad Hamzah yang dirusak oleh orang-orang musyrik, hingga bercucuranlah air mata beliau. Meskipun dengan segala kesedihannya, Rosul saw menyempatkan untuk berhenti sejenak dekat jasad Mush’ab bin Umair sambil membaca firman Allah,

“Di antara orang-orang mukmin terdapat orang-orang yang telah menepati janji mereka kepada Allah.” (QS. Al-Ahzah : 23)

Ada keprihatinan terpancar di mata beliau ketika melihat kain kafan yang digunakan untuk Mush’ab. Beliau bersabda, “ketika di Makkah dulu, tak seorangpun yang lebih halus pakaiannya dan rapi rambutnya daripada kamu. Tetapi sekarang ini, rambutmu kusut, hanya dibalut sehelai burdah.” Dengan kesayuan, Rosulullah saw melayangkan pandangan ke semua sudut medan perang dan ke arah para syuhada dan bersabda, “Sungguh, pada hari Kiamat kelak, di hadapan Allah, Rosulullah akan menjadi saksi bahwa kalian adalah para syuhada.”

Setelah itu beliau memandang para sahabat yang masih hidup, dan bersabda, “hai kalian semua, kunjungilah mereka, dan ucapkanlah salam. Demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tak seorang muslimpun, sampai hari Kiamat kelak, yang mengucap salam kepada mereka, kecuali mereka akan membalas salam itu.”

Salam bagimu wahai Mush’ab bin Umair. Semoga Allah mengizinkanku untuk bersua denganmu di akhirat kelak demi mengobati kerinduanku padamu.

1 komentar:

  1. Siapa Duta Islam ke Indonesia? Bisa kasi linknya kalau ada. Karena Rasul cinta bangsa Indonesia. Ini beritanya: Rasulullah Sayang Bangsa Indonesia

    BalasHapus